Gaya hidup para pejabat VOC yang jauh diatas kemampuan gaji mereka, membuat tingkat korupsi merajalela, penuh kolusi dan penggelapan. Perusahaan dagang Belanda yang memiliki armada di seluruh dunia itu akhirnya bangkrut tahun 1799 dan meninggalkan hutang 140 juta Gulden pada saat mata uang tersebut sangat tinggi nilainya.
Sembilan tahun kemudian, Herman Wilhelm Daendels mendarat di Anyer pada tanggal 1 Januari 1808. Dua minggu kemudian ia mengambil alih kepemimpinan dari Gubernur Jenderal VOC terakhir di Batavia. Daendels melakukan restrukturisasi pemerintahan, dengan semangat Revolusi Perancis, dan membagi Pulau Jawa menjadi 9 Prefektur sembari tetap mengakui keberadaan Kesultanan.
Miftahul Falah menulis dalam Bab II buku Sejarah Ciamis (Pemkab Ciamis & LPPM Unigal, 2005), konsepsi Daendels dalam pembagian Pulau Jawa, selain didasarkan pada sistem pemerintahan sentralistis, juga dilakukan atas dasar beberapa pertimbangan: Pertama, tugas utama Daendels adalah mempertahankan Pulau Jawa. Kedua, pejabat tinggi sipil dan militer pemerintah Hindia Belanda saat itu jumlahnya masih sedikit. Ketiga, keuangan pemerintah sangat minim. Dengan kondisi seperti ini, Daendels melakukan birokratisasi di kalangan pemerintahan tradisional sehingga keinginannya untuk menerapkan sistem pemerintahan langsung (direct rule) dapat dilaksanakan.
Tatar Sunda dibagi menjadi dua bagian didasarkan potensi budidaya kopi. Bagian pertama dinamai Landdrostambt der Jacatrasche en Preanger-Reggentschappen (meliputi Batavia, Tangerang, Krawang, Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang) yang dianggap potensial untuk menghasilkan kopi dalam volume besar. Bagian kedua, dinamai Landdrostambt der Kesultanan en Cheribonsche Preanger-Reggentschappen (meliputi daerah Kesultanan Cirebon dan Cirebon-Priangan) dan dikategorikan sebagai wilayah yang kurang produktif menghasilkan kopi.
Tanaman Kopi (sumber: unpad.ac.id) |
Kabupaten Galuh tidak ikut bergabung ke wilayah Jakarta, melainkan dipinjamkan kepada Sultan Yogyakarta karena dianggap kurang berarti untuk penanaman kopi. Komoditas kopi, terutama pada masa preangerstelsel, merupakan komoditas perdagangan utama yang sangat menguntungkan VOC sehingga Kerajaan Belanda dengan cepat menjadi salah satu negara kaya di Eropa.
Kabupaten Galuh sebenarnya menghasilkan kopi di wilayah lereng Gunung Sawal dan Gunung Ciremai, dan jumlahnya juga tidak terlalu kecil, namun daerah-daerah lain di wilayah kabupaten ini tidak cocok untuk pembudidayaan kopi. Akibatnya, hasil produksi kopi di wilayah Galuh tidak setinggi di daerah Priangan Tengah dan Priangan Barat. Menurut catatan sejarah, pada tahun 1730 Kabupaten Galuh menghasilkan sekitar 375.000 kg atau kira-kira setara dengan 6.000 pikul kopi, dan tetap mencapai jumlah yang cukup setidak-tidaknya sampai pertengahan abad ke-18.
Bupati yang memerintah di Kabupaten Galuh pada saat peminjaman wilayah ini oleh Sultan Yogyakarta adalah R. Adipati Surapraja, yang merupakan ningrat Limbangan -bukan keturunan Galuh- yang berkuasa pada tahun 1806-1811. Artinya, wilayah Galuh dipinjamkan pada waktu lebih kurang setahun sebelum bupati tersebut berhenti dari jabatannya.
Medsos