Syahdan, Puteri Kencana Larang yang dipersunting Raja Majapahit -bergelar Prabu Brawijaya- sudah berbadan dua dan ingin sekali menemui kedua orang-tuanya di Pajajaran (catatan: ada juga tulisan lain yang menyebut nama puteri tersebut sebagai Suci Larang, dan suaminya adalah Pangeran Gajah Wulung, masih putra mahkota, belum menjadi raja di Majapahit). Meski kehamilannya memasuki masa-masa akhir dan hampir melahirkan, tetapi niatannya untuk pulang ke kampung halaman tak dapat dihalang-halangi lagi. Ia ingin sekali melahirkan di dekat ibunda dan ayahanda tercintanya.
Sang Raja Majapahit akhirnya mengalah dan mengizinkan istrinya meninggalkan istana di bawah kawalan seorang menteri dan serombongan pasukan penjaga. Tak urung ia mencucurkan air mata karena kesedihannya, meskipun ia tak dapat berbuat apa-apa, karena saat itu negara sangat membutuhkan kehadirannya.
Berpuluh-puluh hari lamanya rombongan Puteri Kencana Larang menempuh perjalanan dan melewati bermacam hutan belantara. Akhirnya mereka tiba di sebuah tempat di dekat sebuah sungai (yang dimaksud, mungkin Sungai Citanduy). Mereka tak sadar bahwa sebetulnya mereka sudah berada di dekat tujuannya.
Panorama Desa Banjarangsana, Panumbangan, Ciamis. (foto © KKNM Unpad 2014) |
Saat itulah, Sang Putri merasakan kandungannya menggeliat lebih hebat dari biasanya. Tanda-tanda kelahiran sudah dirasakannya, sementara perjalanan ke Kawali, pusat Kerajaan Pajajaran, belum pasti kapan sampainya.
“Kita harus berhenti di sini, Tuan Puteri. Kami akan persiapkan tempat berlindung yang nyaman. Rasanya tak mungkin melanjutkan perjalanan lagi dengan keadaan Tuan Puteri yang seperti ini,” kata Menteri, pimpinan rombongan pengawal. Puteri Kencana Larang tak dapat menolak usulan tersebut.
Baca juga: Asal-usul Nama Panumbangan (Versi 2)
Akhirnya, dibuatlah tempat peristirahatan yang dapat melindungi Puteri Kencana Larang dari hujan, panas dan terutama binatang buas. Untuk membuat rumah dan pelataran yang nyaman, ditebanglah pepohonan di tempat itu. Berbagai jenis pohon dalam berbagai ukuran menjadi ‘korban’ untuk keperluan mendesak itu. Satu persatu, pepohonan tumbang.
“Banyak sekali pohon tumbang di sini. Mulai saat ini, kita namakan tempat ini Panumbangan,” cetus Sang Puteri.
Ia kemudian melahirkan di tempat tersebut. Sepasang bayi kembar, lelaki dan perempuan, menjadi buah hati hasil pernikahan yang menyambungkan Majapahit dan Pajajaran.
Kata ‘tumbang’ dianggap kurang populer untuk menunjukkan pohon yang roboh dalam bahasa Sunda, dan jika mengacu kisah ini maka dapat dimengerti mereka yang menyebut tumbang berasal dari rombongan Majapahit. Kamus Basa Sunda sendiri mengakui keberadaan kata ‘tumbang’ sebagai serapan dari Bahasa Indonesia.
Apakah benar nama “Panumbangan” berasal dari kisah di atas, yang bersambung dengan kisah ‘Asal-usul Maung Panjalu’? Atau ini hanyalah sekedar kisah saja? Ada baiknya kita membaca pula versi lainnya tentang asal-usul Panumbangan, yang dapat kita jadikan perbandingan.
Editor: @ciamis.info
Tidak ada komentar:
Posting Komentar