Alkisah, suatu saat Kangjeng Dalem Ciamis, pemimpin wilayah yang sedang berkuasa, berniat mengadakan hajatan. Tentu saja, acara resepsi kendurian seorang kepala daerah akan membutuhkan pasokan bahan pangan yang mencukupi dan berkualitas terbaik. Karena itulah maka hasil bumi dan pelbagai bahan baku kuliner yang paling baik dicari di seantero Ciamis. Bahan-bahan yang terpilih, dikumpulkan dan dikirim ke ibukota kabupaten.
Kuwu Cinyasag, salah satu kepala desa di wilayah utara Ciamis, mendapat tugas untuk 'séba lauk' (mempersembahkan ikan) ke Kabupaten. Sang Kuwu lalu memutuskan untuk menemui Ki Mustawi, seorang petani dari Kampung Kondang yang terkenal memiliki ikan dalam jumlah banyak dan besar-besar ukurannya.
Ki Mustawi segera menyanggupi permintaan Kuwu. Terpilih untuk melakukan 'séba lauk' adalah sebuah anugerah, kehormatan dan kebahagiaan. Sebagai warga yang baik, jika negara atau pemerintah membutuhkan, tentu ia pun siap sedia memenuhinya.
Demikianlah, pada waktunya, seorang ménak (pejabat) dari kota datang, menyambangi Kampung Kondang untuk mengambil ikan yang dipesan. Mobil sang pejabat berhenti di depan kolam ikan Ki Mustawi. Empunya kolam segera menaikkan ikan-ikan yang terpilih; besar-besar, sehat-sehat, singkat kata: yang terbaik.
Nahas, Ki Mustawi rupanya terlalu sibuk turun-naik antara kolam dan kendaraan, mengurus ikan-ikan. Kakinya yang belepotan lumpur, tak disadarinya telah mengotori kendaraan Sang Ménak. Ketika itulah, tiba-tiba saja tamu dari kota tersebut kemarahannya meledak membabi-buta.
"Buka iket sia! Beresihan mobil aing!" (Buka ikat kepala kamu, bersihkan mobilku!) bentaknya sambil membelalakkan mata. Raut mukanya merah padam. Ki Mustawi tak melawan dan memilih diam, lalu segera membersihkan mobil dengan ikat kepalanya.
Beberapa saat kemudian, mobil itu sudah bersih kembali setelah dilap dengan ikat kepala Ki Mustawi. Namun, ternyata itu tak cukup untuk meredakan kemarahan Sang Ménak dari kota.
"Calangap, siah!" (buka mulutmu!) bentaknya lagi, amarahnya terus menyala-nyala. Ki Mustawi kembali hanya menurut dan membuka mulutnya. Tiba-tiba saja, "cuh, cuh!" mulut petani tulus itu diludahinya!
***
Godi Suwarna, foto: fb. |
Tokoh sastrawan dan seniman senior Ciamis, Godi Suwarna, terus terkenang akan lakon Buyut Mustawi yang sering dikisahkan ulang oleh ayahnya. Kisah itu biasanya dituturkan lagi pada momen istimewa, seperti pada hari raya, kala mendiang ayahnya dikerubungi oleh para cucu-cicitnya.
"Kalau kalian jadi pejabat, jangan pernah berbuat seperti itu kepada rakyat!" nasihat Sang Ayah dikutip Godi. Ia sendiri samar-samar masih mengingat sosok Ki Mustawi. Tokoh utama lakon ini tidak lain adalah almarhum kakeknya. Tahun 1950-an, Buyut Mustawi sudah sangat sepuh, konon usianya pun sudah mencapai lebih dari 100 tahun, saat itu. Godi sendiri kini masih memelihara gobang, semacam golok panjang, peninggalan kakeknya. Alat itu dulunya biasa dipakai pada saat Sang Kakek berburu 'maung' (harimau).
***
Bagaimana akhir kisah Sang Ménak, pejabat dari kota? Tiga hari sejak insiden 'perlakuan (amat) tidak menyenangkan' terhadap Ki Mustawi, ia datang lagi ke Kampung Kondang. Ternyata, sang pejabat tersebut jatuh sakit secara mendadak. Tiba-tiba saja ia menjadi gagap, tak mampu berbicara, sementara mulutnya terus menganga, tak bisa dikatupkan, dan matanya terus membelalak-belalak.
Sang Ménak menghampiri Ki Mustawi, kewibawaan dan sikap sok berkuasanya sudah musnah. Kesombongannya pun runtuh sudah. Ia menyembah-nyembah meminta ampun. Ki Mustawi sigap, seketika memegang leher sang pejabat. Adegan yang hampir sama lalu berulang, tetapi dengan posisi pemegang peran kebalikannya.
"Cuh, cuh!" pejabat dari kota itu diludahi Ki Mustawi. Sang Ménak sembuh seketika!
Ditulis ulang atas seizin Godi Suwarna
Editor: @ciamisnulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar