Berbagai perkembangan terkait rencana Aksi Bela Islam Jilid III menjadi bahan pembicaraan hangat beberapa tokoh yang berkumpul pada hari Sabtu pagi (26/11/2016) di Pondok Pesantren Miftahul Huda 2 Bayasari, Ciamis. KH. Nonop Hanafi, pimpinan ponpes, mengusulkan ‘ide gila’ berjalan kaki ke Jakarta sebagai jawaban atas kesulitan transportasi yang dialami hampir semua pihak yang berencana mengikuti aksi tersebut.
Baca terlebih dahulu tulisan bagian pertama:
Ada Sinto Gendeng Di Balik Longmarch Kafilah Ciamis Menuju Aksi 212
Ahad terakhir di bulan Nopember (27/11/2016) itu berubah menjadi hari yang supersibuk bagi Kyai Nonop dan segenap pengurus Ponpes Miftahul Huda 2 Bayasari, Ciamis. Usai kumandang adzan zhuhur dan sholat berjamaah, rapat kecil segera diadakan. Kyai Nonop, adik-adiknya dan pengurus santri senior berkumpul untuk mempersiapkan keberangkatan kafilah Ciamis menuju Aksi 212 di Ibukota. Pembagian tugas pun mulai diatur dalam rapat kecil yang bertempat di beranda depan rumah Kyai Nonop tersebut.
H. Agus Malik (akun fb ‘Zieguz Maliex’) mendapat amanah sebagai penanggung-jawab mobilisasi massa, sedangkan H. Saepul Khiyar (Aspri Bu Ipah) berperan mengatur rute dan pemetaan perjalanan. Sementara itu, Hj. Ima Rohimah (Deza Azra Aurora) bertugas mengoordinir santri dan Hj. Dais Nurul Wahidah (Ummu Sofwa, istri Kyai Nonop) menjadi koordinator Tim Logistik. H. Cece Bahrul Ulum (Uwa Anom) memimpin Tim Dokumentasi. Tim Medis dipimpin H. Ucu, ditambah kepanitiaan dari luar pesantren.
Selepas rapat kecil yang hanya sebentar itu, semua penanggung-jawab langsung bergerak berdasarkan tugasnya. Waktu yang tersedia hanya singkat saja, sedangkan perjalanan yang akan ditempuh cukup jauh jaraknya. Hal itu menuntut kerja cepat dan cermat dalam menyiapkan perbekalan serta segala sesuatunya. Ibarat menuju medan pertempuran, maka “arsenal perang dalam perjalanan disiapkan,” begitu ujar Kyai Nonop.
Salah satu atribut perjalanan yang disiapkan adalah sejenis topi caping yang dalam bahasa Sunda disebut ‘dudukuy cetok’. Lebih dari seribu buah penutup kepala unik tersebut dibeli, lalu diwarnai cat merah dan putih dengan melibatkan para santri. Sebagian santri lain bertugas menebang bambu di kebun dan membuat tongkat. Terkait warna merah putih pada 'dudukuy cetok', banyak pihak segera menafsirkannya sebagai bentuk jawaban cerdas pesantren terhadap 'serangan' opini yang mengaitkan aksi 212 dengan kosakata 'makar'.
Sembari mengecek kerja para santri yang sangat sibuk, Kyai Nonop melalui teleponnya sesekali mengecek persiapan rombongan lain yang akan bergabung. Tak lupa, ia menyempatkan diri memeriksa persiapan tim dapur umum yang dipimpin isteri tercinta. Bekal bersahaja bagi para pejuang longmarch yang sedang diproduksi adalah ‘buras’.
Sedemikian sibuknya Kyai Nonop, hingga ia baru menyadari banyak kendaraan datang ketika hendak mendirikan shalat ashar. Ternyata, sore itu bertepatan dengan malam Senin keempat, saat kajian bulanan jamaah alumni Ponpes Miftahul Huda 2, disebut ‘HAMIDU’, secara rutin diadakan. Tentu saja, suasana yang sudah sangat hangat karena kesubukan para santri menjadi bertambah riuh lagi.
Kesibukan Kyai Nonop memang tak terbatasi tenggelamnya matahari. Malam itu, ia tetap mengisi kajian ‘Tazkiyatun Nafs’ rutin selepas shalat maghrib, dilanjutkan kajian bada isya. Jadwalnya memang benar-benar padat dan amat sibuk. Bahkan, kajian khusus alumni masih dilanjutkan lagi selepas subuh, dengan materi pembahasan Kitab Hikam dan ‘Madzahibul Arbaah’ (perbandingan madzhab fikih). Pagi itu, di hadapan sekitar 500 orang hadirin, Kyai Nonop menyampaikan rencana perjalanan ke Jakarta, disertai pemberian motivasi dan bahasan pentingnya semangat jihad.
(bersambung ke:
Ketika Kafilah Dudukuy Cetok Awali Langkah)
(ditulis ulang berdasarkan catatan KH. Nonop Hanafi, foto © fb Nop Hanafi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar