Raden Sutajaya menghentikan langkah kakinya, menunda perjalanan yang sedang ditempuhnya. Ia segera tenggelam dalam kekhusukan mengamati keadaan sekeliling tempatnya berpijak. Mata lahir dan batinnya meneliti dengan seksama rerimbunan pepohonan di sebuah leuweung (hutan) yang masih murni dan tak berpenghuni.
Sebagai seorang keturunan ménak (bangsawan) yang mewarisi ilmu dan wawasan lebih daripada orang kebanyakan, ia selalu menimbang-nimbang segala sesuatunya sebelum akhirnya mengambil sebuah tindakan.
Raden Sutajaya atau Jangraga Sutajaya adalah cucu Raden Suraita, bangsawan Kadipaten Utama yang terpaksa lari dari kejaran pasukan Mataram dan akhirnya bermukim di daerah Buniseuri. Pada masa kakeknya menjadi buronan, wadya balad pasukan Mataram sedang gencar-gencarnya berusaha menguasai Tatar Galuh, meski mendapat berbagai penolakan.
Baca: Kisah Raden Suraita, Asal-usul Nama Desa Buniseuri
Raden Sutajaya akhirnya memutuskan untuk babad alas, membuka lahan di hutan belantara di hadapannya. Ia merasa cocok untuk membangun kehidupan barun di tempat tersebut. Berbekal tekad, keyakinan dan segenap kemampuannya, ia kemudian mengolah lahan untuk digunakan sebagai tempat pemukiman, kebun dan pesawahan.
***
Itulah kisah awal terbentuknya wilayah yang di kemudian hari bernama Desa Selacai. Tak butuh waktu lama, hanya dalam beberapa tahun saja, hutan itu sudah berubah menjadi perkampungan yang cukup ramai untuk ukuran masa itu. Penyebabnya, bukan hanya keadaan tempat yang cocok untuk bermukim dan bercocok tanam, tetapi juga karena kepemimpinan Raden Sutajaya yang kharismatik dan berwibawa.
Tubuhnya tegap dan gagah, sikap serta ucapannya sangat mengesankan. Pribadi yang mencerminkan seorang pemimpin berilmu dan bijaksana. Ia mengajak masyarakat untuk mengolah lahan pertanian secara bergotong-royong, sembari mengajari mereka dengan tuntunan moral dan keberanian. Semua itu membekali masyarakat untuk meraih kehidupan yang damai dan sejahtera.
Kepemimpinan Raden Sutajaya yang amat dihormati, mengharumkan namanya hingga ke Keraton Cirebon. Ia sering diundang Sultan Cirebon untuk mengikuti acara ‘senenan’, yakni bermain anggar sambil berkuda. Sayangnya, kehadirannya tersebut ternyata membawa permasalahan besar di kemudian hari.
Diam-diam, penampilan Raden Sutajaya yang tampan dan gagah telah mencuri hati salah satu putri Kesultanan Cirebon. Suatu waktu Sang Putri yang kasmaran, tanpa sepengetahuan pihak keraton, nekat ikut bersama rombongan Raden Sutajaya yang berangkat pulang.
Keraton Kesultanan Cirebon geger. Raden Sutajaya dituduh mencuri putri Sultan dan pihak keraton segera mengerahkan pasukan untuk merebutnya kembali. Pasukan Kesultanan Cirebon berhasil menyusul dan mengepung rombongan Raden Sutajaya di tepi Sungai Cisanggarung. Perselisihan segera menjadi bibit pertempuran yang tak terelakkan.
Saat itulah rasa tanggung jawab, kepemimpinan dan kebesaran hati Raden Sutajaya terbuktikan. Ia tak mau menyeberang sebelum seluruh anggota rombongannya berhasil melalui sungai dengan selamat. Bagaimana pun permasalahan timbul dari dirinya, ia harus pasang badan jika merembet pada pengikut-pengikutnya. Hebatnya, pasukan Cirebon berhasil dipukul mundur oleh kehebatan ilmu kanuragan Raden Sutajaya. Mereka pulang dengan tangan hampa.
Meski Raden Sutajaya dan rombongan berhasil mencapai kampung halaman dengan selamat, tetapi persoalan masih belum bisa dianggap selesai. Kesultanan Cirebon diyakini Raden Sutajaya pasti akan membuat perhitungan. Jadi, jangankan bisa melangsungkan pernikahan dengan putri jelita dari Kesultanan Cirebon, untuk menarik nafas lega pun ia belum bisa.
Benar saja, serombongan tentara Cirebon bersenjata lengkap dilaporkan sedang berkumpul mengatur serangan di sebuah tempat yang kini disebut Kampung Gagakngampar. Raden Sutajaya tetap bersikap tenang. Ia adalah ahli strategi yang mumpuni dan sangat memahami seluk beluk wilayahnya. Ia pun menyadari resiko kehancuran desanya jika serbuan musuh sampai terjadi. Menghadapi serbuan lawan secara langsung akan sangat berbahaya, jumlah mereka lebih besar dan terlatih. Maka ia harus melawan dengan siasat yang tepat.
Raden Sutajaya mendaki sebuah bukit untuk melakukan pengintaian. Bukit tersebut kini disebut Kampung Nangoh. Setelah mengamati, ia kemudian memerintahkan pemasangan bendera berjajar di sebuah tempat yang kini bernama Awingajajar, sebagai tanda kesiapan pasukan menghadapi serangan Cirebon. Pasukan lawan segera saja mengetahui ‘sambutan’ tersebut dan memusatkan perhatian mereka ke arah Awingajajar.
Sementara itu, Raden Sutajaya dan pasukannya turun melalui Lembah Raja Paniis, kemudian berhenti untuk merundingkan penyerangan di suatu tempat yang kini bernama Panimbang. Ia kemudian memimpin menyeberangi Sungai Cimuntur dan bermalam di Kampung Cipondok.
Keesokan harinya, pasukan dari Cirebon tercerai-berai dan jatuh bergelimpangan. Raden Sutajaya sudah memperhitungkan lokasi penyerangan, cuaca dan kekuatan pasukan. Serbuan pasukannya sangat mengejutkan dan mematikan, datang dari arah yang tidak terduga-duga. Tempat munculnya serbuan itu kini disebut Kampung Pangjebulan. Pasukan Jangraga Sutajaya yang berjumlah lebih sedikit dapat menghancurkan musuh yang lebih besar.
***
Demikianlah kisah Raden Sutajaya dan asal-usul Desa Selacai, Kecamatan Cipaku, Kabupaten Ciamis. Nama Selacai ditetapkan di kemudian hari oleh Bupati R.A.A. Kusumadinata III yang lebih dikenal dengan sebutan Kangjeng Perbu, pemimpin legendaris Ciamis. Pada awalnya Desa Selacai terdiri atas dua desa: Selacai dan Cikembang, sempat disatukan menjadi Desa Ciheras, lalu kembali menggunakan nama Selacai. Keturunan Jangraga Sutajaya tetap melanjutkan kepemimpinan di wilayah ini hingga generasi-generasi berikutnya.
(Diolah ulang @urang_ciamis dari catatan Viena Amanta, foto © Aang Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar