Nama 'lakbok' yang cukup unik dan terkenal mungkin membangkitkan rasa penasaran sebagian orang tentang arti dan asal-usulnya. Meski terdapat anekdot 'milu melak tapi teu ngalebok' (ikut menanam tapi tak menikmati) sebagai kepanjangan nama tersebut, sebuah ungkapan sindiran dan protes atas kondisi jalan serta kesenjangan pembangunan, tetapi penamaan suatu daerah di Tatar Galuh biasanya berasal dari suatu kejadian, tanda alam, atau hasil perenungan spiritual yang dalam. Nama tempat juga dapat menjadi pengingat suatu peristiwa, orang/tokoh, atau mencerminkan suatu harapan (doa).
Meski demikian, kata 'melak' (menanam) memang lekat dengan kehidupan masyarakat Lakbok sehari-hari. Kawasan tersebut merupakan daerah pertanian yqng subur, produsen utama penyangga pasokan pangan untuk Ciamis, Jawa Barat dan bahkan nasional. Hasil bumi melimpah merupakan anugerah yang luar biasa dari satu-satunya area gambut yang tersisa di Pulau Jawa tersebut.
Ilustrasi foto area pesawahan yang luas di Lakbok © KKNM Unpad Sukanagara, Lakbok.
Lakbok yang awalnya berupa hutan dan rawa-rawa dalam penguasaaan negara, dibuka dan digarap menjadi areal pertanian, terutama berupa pesawahan yang luas, sejak adanya kebijakan Bupati R.A.A. Wiratanuningrat untuk memberi hak milik kepada para petani penggarap di wilayah tersebut pada tahun 1926. Persentuhan manusia dengan alam di wilayah ini bukannya tanpa masalah, sebaliknya malah sempat menimbulkan kegegeran dan peristiwa besar.
Pasalnya, sejak pembukaan wilayah hutan untuk pemukiman dan kebun penduduk, melalui pemberian hak milik bernama 'tanah cap singa', sebuah program land reform ala Dalem Sukapura (Tasikmalaya), maka ekosistem hutan menjadi terganggu dan bahkan rusak. Akibatnya, banyak binatang liar terdesak dan berhadapan dengan manusia yang merambah wilayah habitat hidupnya.
Baca juga: Asal-usul dan Sejarah Lakbok: Hutan dan Lahan Gambut yang Menjadi Gudang Pangan Andalan
Di tengah-tengah mulai padatnya pemukiman di Lakbok saat itu dan melimpahnya hasil pertanian, tiba-tiba tersiar kabar bahwa tiga orang terluka di wilayah hutan Cimadang. Seekor harimau (atau mungkin yang dimaksud adalah macan) yang diduga terdesak tempat hidupnya telah tersesat dan memasuki hutan yang 'salah', sehingga berhadapan dengan para penduduk penggarap kebun. Akibatnya cukup fatal dan menyebabkan keresahan masyarakat.
Camat Padaherang memerintahkan penduduk untuk mengepung hutan Cimadang dari segala arah sambil membuat bunyi-bunyian keras seperti suara kentongan dan sorak-sorai untuk menakut-nakuti sang raja hutan. Hewan buas tersebut akhirnya keluar dari persembunyiannya dan menemui nasib nahas, tewas di tangan para pemburu yang mengepungnya.
Bangkai Sang Raja Hutan kemudian dibawa ke kampung untuk diperlihatkan kepada orang-orang yang dilukainya, untuk memastikan apakah benar hewan tersebut yang menyerang mereka. Setelah mendapat konfirmasi dari para korban, bangkai tersebut kembali digotong sembari diiringi ratusan orang menuju ke kecamatan Padaherang.
Keberhasilan pemburuan atas harimau tersebar ke mana-mana dan rupanya membawa kegembiraan luar biasa. Di kampung Munggangsempu, atas inisiatif lurah setempat, rombongan pembawa bangkai harimau dilengkapi dengan iringan tabuhan kesenian 'dogdog'. Formasi barisan diatur sedemikian rupa, dimulai oleh penggotong bangkai harimau yang diapit oleh para pemburu yang membawa tombak, kuli (semacam tombak yang memiliki satu atau dua kait di bagian mata tajamnya) dan bedil. Di belakangnya anggota rombongan lain mengikuti dengan antusias.
Masyarakat setempat menyaksikan 'parade' tersebut sembari memenuhi rasa penasaran atas wujud raja hutan yang telah ditaklukkan. Sorak-sorai rombongan dan para penyambut meramaikan perjalanan tersebut. Sementara itu, tak ketinggalan Ki Arsadiwangsa, salah seorang korban harimau, ikut dibawa dengan tandu meskipun hanya bisa terbaring lemas.
Kisah perburuan harimau tersebut tercantum dalam naskah “Ngabukbak Lakbok” karya R. Muh. Sabri Wiraatmadja, yang ikhtisar versi Basa Sunda-nya dipublikasikan oleh Ria Pangestu.
Apakah penggunaan nama 'lakbok' terkait dengan peristiwa menggemparkan tersebut? Wallahu a'lam. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggali sumber-sumber sejarah yang sahih dan meyakinkan, meskipun kemungkinan tersebut bisa saja benar dan bahkan kuat sekali korelasinya.
Kata 'lakbok' sendiri menurut Kamus Basa Sunda R.A. Danadibrata (2015), karya besar mantan ambtenaar (pegawai pemerintah di masa lampau) yang pernah bertugas di wilayah Ciamis, memang berarti 'maung nu gede pisan' (harimau atau macan yang sangat besar). Kata tersebut berasal dari bahasa Sunda Kuna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar