Lakbok merupakan salah satu wilayah terpenting di Kabupaten Ciamis. Satu-satunya area lahan gambut yang tersisa di Pulau Jawa ini merupakan kawasan pertanian pemasok bahan pangan utama bagi masyarakat Ciamis, Jawa Barat, bahkan nasional. Aktivitas pertanian padi terlihat secara kasat mata sebagai hamparan sawah yang sangat luas dan subur. Wilayah di Ciamis selatan tersebut kini terbagi atas beberapa wilayah administratif yang berdekatan, tetapi sebenarnya memiliki akar sejarah yang sama pada awal mula perkembangannya.
Lakbok pada sekitar tahun 1920-an merupakan kawasan luas yang terdiri atas rimba lebat dan juga hamparan lahan yang selalu tergenang air. Tempat tersebut menjadi habitat bagi bermacam hewan buas, baik di wilayah hutan maupun di rawa-rawanya. Meski demikian, di wilayah ini sebenarnya terdapat berbagai lokasi yang sangat subur dan luas, serta dapat dimanfaatkan untuk aktivitas pertanian. Kawasan tersebut awalnya berada di bawah pemerintahan Kabupaten Sukapura (yang pada tahun 1913 berubah nama menjadi Tasikmalaya).
Inisiatif pembukaan kawasan Lakbok berasal dari Dalem R.A.A. Wiratanuningrat, bupati Sukapura (Tasikmalaya) ke-14 yang berkuasa pada tahun 1908-1937. Sang Bupati selalu melakukan survey lapangan terlebih dulu sebelum melakukan tindakan. Pembukaan kawasan diawali dengan pengeringan area rawa. Dalem RAA Wiratanuningrat turun langsung menyaksikan pembuatan selokan kecil untuk mengalirkan genangan air ke wilayah Cilacap.
Dari Illegal Logging menjadi Tanah ‘Cap Singa’
Tahun 1926, laporan masuk ke Dalem R.A.A Wiratanuningrat, bahwa pohon-pohon di kawasan hutan Lakbok ditebang secara ilegal oleh masyarakat, padahal berada di kawasan hutan negara. Hal tersebut mengundang perhatian Sang Bupati, yang kemudian datang langsung ke Desa Mangunjaya dan mengumpulkan rakyat sekitar. Dalem R.A.A. Wiratanuningrat sebenarnya sudah memikirkan pemberian hak kepemilikan tanah untuk rakyat dan di dalam pertemuan menyampaikan janji akan mengusahakan hal tersebut.
Langkah Bupati R.A.A. Wiratanuningrat yang bijaksana mendapat tanggapan sangat baik dari masyarakat Lakbok. Mereka yang awalnya takut mendapat hukuman, beramai-ramai mengajukan izin pengelolaan tanah negara. Cukup banyak permintaan yang masuk, umumnya memilih lokasi yang cukup tinggi agar aman dari genagan air pada saat banjir musiman.
Tanah-tanah tersebut disebut ‘Tanah Bon’, memiliki izin pengelolaan untuk dijadikan kebun pertanian, dengan syarat tidak boleh menebang pohon-pohon besarnya sebelum sah menjadi tanah hak milik. Beberapa waktu kemudian tanah-tanah tersebut menjadi hak milik para penggarap. Pengesahan tanah hasil program ‘land reform’ tersebut ditandai dengan terbitnya surat berstempel ‘cap singa’ yang segera menjadi buah bibir dan dambaan masyarakat setempat.
Baca juga: Arti Kata 'Lakbok' dan Kisah Penangkapannya
Kabar tentang tanah ‘Cap Singa’ menyebar hingga ke mana-mana, bahkan hingga ke wilayah Jawa Tengah. Berita tersebut mengundang kedatangan orang-orang yang sengaja hendak meminta tanah. Sejak saat itulah mulai banyak penduduk keturunan suku Jawa di Tatar Sunda sebelah selatan. Perlahan tapi pasti Lakbok menjadi wilayah yang makin padat penduduknya. Konsentrasi pemukiman terutama di wilayah Mangunjaya, Paledah dan hutan-hutan sekelilingnya yang masih merupakan ‘tanah hakulah’ (bukan hak milik).
Kangjeng Dalem Tasikmalaya, R.A.A. Wiratanuningrat, mendengar laporan mengenai kehadiran para pemukim baru yang datang dari wilayah Jawa. Ia lalu mendatangi Lakbok dan mengumpulkan mereka. Kepada para pendatang Kangjeng Bupati menyatakan akan memberikan hak miliik atas tanah asal mereka memenuhi tiga persyaratan: pertama, mereka harus menyesuaikan diri dengan adat istiadat orang Sunda; kedua, tanah yang sudah dimiliki sama sekali tidak boleh dijual dan harus benar-benar dipelihara; ketiga, mereka harus menjadi petani yang rajin dan taat pada hukum negara.
Kenduri Selamatan Bumi di Kedungdadap
Kehidupan para pemukim di wilayah Lakbok perlahan tapi pasti membuahkan keberhasilan, terutama di bidang pertanian. Hasil bumi dari tanah yang subur cukup melimpah, sehingga para penduduk bersepakat untuk mengadakan kenduri selamatan bumi, sesuai adat yang berlaku. Mereka memohon kehadiran Bupati Tasikmalaya, 'Dalem Sukapura', pada kegiatan tersebut.
Kenduri selamatan diadakan pada tanggal 16 Juni 1926 di Kedungdadap, tempat yang asalnya sangat terpencil dan jarang tersentuh kehadiran manusia, tetapi mendadak menjadi ramai dan dihias dengan sangat bagusnya. Bupati bersama istri dan rombongan berkenan hadir, demikian pula masyarakat dari segala penjuru yang berbondong-bondong mendatangi selamatan tersebut.
Bupati R.A.A. Wiratanuningrat dalam amanatnya menegaskan kembali agar masyarakat tidak menjual tanah yang sudah dimiliki, apalagi menjadikannya komoditas jual-beli. Kangjeng Dalem juga mencanangkan perubahan nama Kedungdadap menjadi Yasaratu, yang dipakai hingga sekarang. Istri Bupati juga memberi nama ‘Ngastina’ untuk hutan Rarangkasan yang berada di sebelah hulu dari Yasaratu. Penamaan tersebut untuk pengingat bahwa tempat tersebut dulunya adalah tegalan pohon ‘reungas’ (mungkin karena kedua kata, ngastina dan reungas, memiliki potongan kata -ngas). Reungas adalah semacam pohon kihiang yang jika getahnya terkena kulit akan menimbulkan gatal dan seperti terbakar.
Sebagai acara puncak, selamatan bumi dimeriahkan oleh pergelaran wayang golek berlakon ‘Babad Alas Amer’ yang dibawakan Ki Dalang Atmadja, sesuai permintaan Dalem Istri.
Pembangunan Jalan, Jembatan dan Bendungan
Raden Prawirasastra adalah Wedana Pangandaran yang memegang peranan penting dalam pembangunan di kawasan Lakbok yang terus berkembang. Ia mengajak masyarakat untuk membangun jalan baru yang menghubungkan Desa Paledah dan Mangunjaya pada bulan Februari 1929. Jalan yang terus dipakai hingga kini tersebut memiliki manfaat yang sangat besar bagi penduduk setempat.
Jalan baru yang bagus sangat mengesankan bagi masyarakat sekitar Lakbok. Mereka menjadikannya tujuan jalan-jalan dan betah menikmati fasilitas baru tersebut. Tak hanya rapi serta mulus, jalan baru juga memiliki panorama yang indah dan membentang luas ke segala arah. Rerimbunan Tatar Cilacap bahkan nampak di kejauhan. Perkampungan di sekitar jalan baru pun disebut ‘Panyontoan’, sebagai pengingat atas jasa Wedana Pangandaran, Raden Prawirasastra.
Selain pembangunan jalan baru, pada bulan Juli 1932 Bupati R.A.A. Wiratanuningrat memimpin langsung pembuatan jembatan yang menghubungkan Desa Mangunjaya dengan Yasaratu. Tujuan fasilitas baru tersebut adalah untuk memudahkan lalu-lintas penduduk antar desa yang sering terhalang pada saat banjir musiman. Jembatan penyeberangan dibuat dari bahan bambu bitung dan dikerjakan secara gotong royong. Keterlibatan Bupati secara langsung telah membangkitkan semangat dan kegembiraan masyarakat yang terlibat, apalagi di sela-sela bekerja keras mereka dijamu dengan acara makan bersama.
Setahun kemudian, pada bulan April 1933, wedana Pangandaran diganti oleh pejabat baru, Raden Sumitra, putra Kangjeng Adipati Bintang dari trah Sukapura. Kehadiran wedana baru bersamaan dengan banjir besar yang disebabkan aliran air Citanduy melewati dua anak sungai, Cirarangkasan dan Kiarabandung. Wilayah Lakbok selatan menjadi lautan air selama berbulan-bulan, menimbulkan kerugian dalam jumlah tak sedikit bagi para penduduk sekitar.
Solusi untuk masalah tersebut adalah dengan melakukan pembendungan atas dua anak sungai tersebut. Pengerjaannya dilakukan selama tiga minggu, dipercepat dari waktu normal tiga bulan lamanya. Proyek sulit tersebut untuk mencegah air Citanduy masuk ke aliran sungai Ciseel. Bendungan di Sungai Cirarangkasan malah dibuat dua buah, berupa kolam besar yang kemudian dimanfaatkan masyarakat untuk memelihara ikan. Banjir Lakbok pun untuk sementara dapat diatasi, bahkan pembangunan bendungan membawa hasil yang lebih baik untuk pertanian dan kehidupan masyarakat sekitar.
Hasil bumi para petani terus melimpah dan menjadikan kawasan Lakbok sebagai ‘Gudang Padi’ bagi Kabupaten Tasikmalaya. Terkait itu maka masyarakat setempat mengadakan kembali kenduri selamatan pada tahun 1935 bertempat di Ngastina. Pesta tersebut berlangsung selama dua hari, berlangsung meriah dengan diisi berbagai acara dan tontonan hiburan rakyat.
Musibah Topan dan Banjir Besar
Lakbok yang semakin maju, ramai dan berlimpah rejeki tak lepas dari musibah dan kesedihan. Pada pertengahan September 1936, tiba-tiba bencana angin topan (kini mungkin lebih dikenal sebagai angin puting beliung) menerjang kawasan tersebut. Angin kencang selama setengah jam tersebut menimbulkan kerusakan parah dan membawa kegemparan.
Tak lama dari musibah tersebut tersiar kabar bahwa Bupati Tasikmalaya, Kangjeng Dalem R.A.A. Wiratanuningrat jatuh sakit, hingga dibawa berobat ke Betawi. Ramai dibicarakan penduduk, bahwa ada kaitan antara musibah angin topan dengan sakitnya ‘Pangawulaan’. Angin topan dianggap sebagai sebuah pertanda.
Hanya berselang beberapa bulan kemudian, pada tahun 1937, Lakbok diterjang banjir besar akibat jebolnya tanggul penahan. Air bah kembali membanjiri kawasan tersebut, menyebabkan ratusan rumah hanyut dan banyak masyarakat mengungsi ke daerah yang lebih tinggi. Pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya mengirimkan Juragan Patih dan Tuan Kontrolir untuk memeriksa daerah yang terkena musibah, langsung datang ke lokasi dengan menggunakan perahu.
Suatu sore, ketika rombongan tersebut masih di atas perahu, hendak naik ke sebuah kampung, terjadi kegemparan di masyarakat setempat. Ternyata Bupati Tasikmalaya, R.A.A. Wiratanuningrat, wafat. Jenazah Sang Bupati kelak dikebumikan di makam Tanjunglaya, Manonjaya, Tasikmalaya, di pemakaman keluarga para bupati trah Sukapura.
(Kilasan sejarah Lakbok terdapat pada naskah “Ngabukbak Lakbok” karya R. Muh. Sabri Wiraatmadja, yang ikhtisar versi Basa Sunda-nya dipublikasikan oleh Ria Pangestu dan diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia oleh @urang_ciamis untuk CIAMIS.info. Foto © Tim KKNM Unpad)
29 Juni 2017
sejarah
Share This:
Asal-usul dan Sejarah Lakbok: Hutan dan Lahan Gambut yang Menjadi Gudang Pangan Andalan
sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar