Zaman dulu, puluhan tahun silam, kehadiran tanggal lilikuran (sepuluh hari terakhir) bulan Ramadan selalu disambut oleh para pemuda kampung di sebuah desa di Ciamis utara dengan berkumpul di masjid selepas waktu imsyak. Mereka mengerumuni beduk, bersiap menabuhnya lagi selepas sepuluh hari 'libur' membunyikan alat tersebut.
Aturan lazimnya memang begitu, para pemuda dan anak-anak dibebaskan menabuh beduk di awal Ramadan, berhenti di tanggal-tanggal belasan, lalu boleh membunyikannya lagi di hari-hari lilikuran atau sepuluh hari terakhir. Alhasil, para pemuda pun sangat bersemangat, seharian bergantian menabuh dulag (beduk) tersebut.
Menginjak malam kedua puluh satu, mesjid yang sudah agak kosong peserta tarawihnya juga menjadi padat kembali oleh kehadiran para makmum. Penyemangatnya, kehadiran cangkedong alias anyaman daun kelapa yang digunakan sebagai alas nasi dan lauknya, yang dibagikan selepas shalat tarawih tersebut. Biasanya, pada malam-malam ganjil menu khusus tersebut dibagikan. Tradisi ini cukup ampuh untuk 'memobilisasi massa' peserta tarawih kembali.
Hari-hari terakhir bulan suci memang disambut dengan berbagai aktivitas masyarakat di seantero kampung. Mereka mulai berbenah untuk menyambut kehadiran hari Lebaran. Pekarangan rumah dibersihkan dari rumput-rumputan liar, jalan-jalan kampung pun diperbaiki, seiring dengan suara beduk yang terus bertalu-talu. Segera saja pemandangan yang resik mewarnai lingkungan pemukiman.
Tak hanya itu, bilik-bilik rumah warga dipulas lagi dengan menggunakan cat alami dari bahan kapur. Hasilnya, menjadi lebih putih, cerah dan bersih. Orang yang cukup punya modal, menambahi bahan apu (kapur) untuk cat rumahnya dengan 'oker', yakni semacam tanah lembut berwarna kuning. Hasilnya, biarpun samar tapi rumah terlihat lebih berwarna.
Malam harinya banyak juga penduduk yang menyalakan damar sewu (semacam lampu) hingga kampung menjadi terang oleh cahaya. Singkat kata, kampung menjadi lebih bersih, cerah dan hangat suasananya. Apalagi kerabat dan keluarga dari kota pun sudah mulai berdatangan, meramaikan kehidupan kampung yang biasanya adem ayem saja.
Para pemuda kecipratan efek positifnya. Selain tambah bersemangat menabuh beduk, mereka juga menjadi lebih rajin mandi dan bergaya. Bagaimana tidak, kerabat penduduk yang bermukim di kota juga membawa para anak gadisnya. Bagi pemuda kampung, kehadiran makhluk halus nan jelita seperti itu adalah kesempatan langka. Siapa tahu ada peluang berkenalan dengan Neng Anu putra Bapak Ieu, atau Neng Fulanah cucunya Aki Itu, atau lainnya. Para gadis kota penampilannya bersih, elok dan menawan hati. Berbeda dengan gadis kampung yang kumuh dan ketinggalan jaman. Paling tidak, begitulah menurut para pemuda saat itu. Sore hari, mereka mejeng di lokasi tertentu, mengamati, berharap ada gadis kota yang terdeteksi penampakannya.
Mengamati? Ya, ternyata cuma itu batas keberanian para pemuda kampung nan gagah perkasa. Mereka tak berani mendekati para gadis kota. Malu, alasannya. Gadis-gadis kota terlalu halus, terlalu keren, untuk dijangkau. Bicaranya pun Bahasa Indonesia, atau Bahasa Betawi, biasanya. Sedangkan para pemuda kampung sehari-hari memakai bahasa Sunda saja, itu pun sebagian besarnya bahasa loma (kasar) saja.
Urusan 'beda kasta, beda bahasa' ini rupanya menimbulkan kekesalan yang terpendam pada diri Si Enjo, salah seorang pemuda desa. Ia yang lagi naksir berat pada Neng Anu dari Bandung, harus menghadapi kenyataan bahwa ada pemuda lain, Cep Eta dari Jakarta, yang menjadi saingan beratnya.
Ditilik dari kemampuan berbahasa, pendekatan Cep Eta pada Neng Anu memang jauh lebih mudah dan lancar. Si Enjo, pemuda kampung, menghadapi persaingan yang tak seimbang dalam pertempuran asmara. Sedikit demi sedikit bibit kebencian menggerogoti hatinya, siap memercikkan api amarah kapan saja pada rivalnya.
Suatu waktu, ketika Si Enjo sedang berkumpul dengan teman-temannya, tiba-tiba saja sang rival, Cep Eta, melintas di hadapannya. Saat itulah api cemburu dan amarah Si Enjo meluap-luap, naik ke ubun-ubunnya. Ia bergegas menghampiri Cep Eta.
Suasana mendadak tegang, berpasang-pasang mata memperhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Nampaknya duel dua pemuda itu akhirnya bakal terjadi juga.
Tak dinyana, Si Enjo memecah ketegangan itu secara dramatis.
"Mau ke mana gua?" bentaknya dengan wajah sangar, penuh keyakinan. Tak biasanya dia berbahasa Betawi.
Cep Eta tertegun, bingung dengan pertanyaan aneh itu. Sementara, suara tawa teman-teman Si Enjo seketika meledak membahana. Duel asmara pun terhenti seketika.
Sumber: Godi Suwarna
Alih bahasa: @ciamis.info
Tidak ada komentar:
Posting Komentar