“Bener ya, Kang, Allah mah Mahaadil. Urusan rejeki téh ternyata gimana Allah saja, geuningan,” celetuk Mang Eje beberapa saat setelah menyeruput minuman yang disuguhkan. Suasana sore nan dingin di hari kedua lebaran, menjadi hangat oleh sajian kopi hitam dan singkong rebus yang kepul asapnya masih terlihat.
“Ya iya lah, kata Pa Ajengan juga,” timpal Aki Anda, tuan rumah, sembari menyalakan lagi rokok. Ini sudah yang ketiga batang sore ini, diisapnya dengan segenap rasa, sebab stok rokoknya masih berbungkus-bungkus, oleh-oleh lebaran dari anaknya yang pulang mudik. Anaknya yang sulung lebih banyak tinggal di kota Bandung, sehari-hari berjualan di jongko kecilnya.
“Memangnya kenapa, Eje?” tanya Aki Anda penasaran.
“Saya téh ketemu Jang Guru Dadan, Ki,” Mang Eje menyenderkan tubuh kurusnya ke bilik rumah, ”kata Jang Guru, di daerah Beber Cimaragas mah penduduknya banyak yang lagi ketiban duit kaget.”
“Euleuh, duit kaget kumaha?”
“Coba bayangkan, Ki, konon ada nenek-nenek yang punya tanah. Itu tanah téh selama ini susah dijual, ujug-ujug terkena proyek bendungan Leuwi Keris. Naa da éta mah, Si Nenek téh dapat duit dua milyar rupiah!”
“Uluuuh!” Aki Anda tak bisa menahan kekagetannya. Pandangan yang asalnya tertuju pada kecipak beberapa ekor gurame di kolam kecil samping rumahnya, sekarang tertuju pada Mang Eje yang sedang cacamuilan oleh singkong hangat.
“Kiii, kopinya tambah lagi tidaak?” seru suara Nyi Odah, anak Aki Anda, dari arah dapur. Nyi Odah sehari-hari meladeni bapaknya yang sudah beranjak sepuh, rumahnya hanya bersebelahan saja.
“Enya, Odah. Ka dieukeun!”
“Ini mah kata Jang Guru Dadan, Ki. Begitu katanya. Dia malah sempat bertemu dengan seorang sales tukang ngajual mobil, Ki. Si Akang Sales téh bingung ….”
“Bingung nyari Si Nini téa?”
“Ih, bukan, Ki. Sebaliknya, ini mah. Itu Si Akang Sales téh bingung da harus ngirim 15 mobil baru ke daerah itu sebelum lebaran. Mungkin stoknya rebutan.”
“Boa Si Nini gé pesen, Eje?” pandangan Aki Anda menerawang ke arah pesawahan Kampung Cugantang yang hijau membentang.
“Rejeki mah ada jalannya, ya, Ki…,” mimik muka Mang Eje tampak amat serius, sementara tangannya secara perlahan tapi pasti merayap ke arah bungkus rokok Aki Anda, tanpa permisi. Aki Anda yang seolah tak acuh dan larut dalam lamunannya, ujung matanya melirik ke tangan Mang Eje.
“Itu téh yang paling sedikit mendapat 250 juta, Ki, katanya. Yang paling banyak, katanya lagi, 9 milyar rupiah. Tanah dihargai bagus, pohon kecil dibeli satu juta per batang, yang besar dua setengah juta. Tiba-tiba orang sana jadi kaya-kaya, Ki, pada beli mobil, ngaborong motor. Kalau ada yang punya anak empat, empat-empatnya dibelikan motor éta téh, motor ninja deuih!”
“Kabita, kamu téh, Eje? Itu mah rejeki durian runtuh téa. Rejeki orang mah jangan jadi pikiran. Kita mah harus usaha atuh, kalau mau dapat apa-apa téh!” ucap Aki Anda sambil perlahan tangannya mengambil bungkus rokoknya, menelusupkannya di saku baju koko baru yang dibelikan suami Nyi Odah beberapa hari lalu. Itu dilakukannya sembari tetap menatap sawah di kejauhan. Mang Eje kéom, salah tingkah, asap rokoknya tiba-tiba terasa mencekik tenggorokannya.
“Eje, itu nenek yang dapat duit dua milyar téh rumahnya di mana? Aki pan sudah lama nyorangan ….”
Dua detik tanpa jawaban.
“Kiii, saya mau ngontrol air kolam dulu atuh, nyaaa. Nuhun kopi sama sampeu-nya...!” teriakan Mang Eje berasal dari ujung pematang kolam. Laki-laki itu sudah beringsut meninggalkan Aki Anda yang duduk termangu, dan kakek tua yang sudah lama menduda tersebut cuma bisa menggaruk-garukkan tangan ke kepalanya.
Editor: @ciamis.info
Tidak ada komentar:
Posting Komentar