Figur dan kisah hidup Prof. Mr. R.H. Iwa Kusuma Sumantri, pahlawan nasional asal Tatar Galuh, tetap menarik untuk diungkap kembali. Pengabdiannya untuk negara tak pernah berhenti hingga akhir hayatnya, melalui berbagai bidang yang digelutinya.
Sejak awal, ia konsisten menggunakan jalur politik untuk membangkitkan patriotisme dan semangat mencapai kemerdekaan RI. Iwa bahkan berperan penting menjelang detik-detik proklamasi. Iwa-lah yang mengusulkan pemakaian kata ‘proklamasi’ di dalam naskah yang dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebelumnya, Bung Karno bermaksud menggunakan kata ‘maklumat’.
Iwa, lahir 31 Mei 1899, adalah putra Raden Wiramantri, seorang Kepala Sekolah Rendah yang kemudian menjadi penilik sekolah (school opziener) di Kabupaten Ciamis. Sebagai ‘putra menak’ (anak bangsawan), Iwa dapat bersekolah di Eerste Klasse School, lantas dilanjutkan di Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk anak-anak pribumi yang pengantarnya menggunakan bahasa Belanda.
Keberanian Iwa sudah tercermin sejak usia muda, saat mengambil keputusan besar yang menentukan arah hidupnya. Iwa keluar dari OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren), sekolah calon ambtenaar atau pegawai pemerintah di Bandung, setahun setelah belajar di sana. Ia kemudian memilih belajar di Recthsschool (Sekolah Hukum), Jakarta, selama lima tahun (1916-1921). Saat bersekolah, Iwa tertarik dan aktif sebagai anggota Tri Koro Darmo, cikal bakal Jong Java.
Setamat Sekolah Hukum, Iwa bekerja di kantor Pengadilan Negeri di Bandung, sempat pindah ke Surabaya dan akhirnya kembali lagi ke Jakarta. Tahun 1922, ia memutuskan untuk melanjutkan studi hukumnya di Universitas Leiden, Belanda.
Semasa berkuliah di Negeri Kincir Angin itulah, Iwa aktif terlibat di perkumpulan Indische Vereeniging (namanya lalu berubah menjadi Indonesische Vereeniging dan akhirnya menjadi Perhimpunan Indonesia). Iwa sempat memimpin organisasi tersebut (1923-1924) dan meletakkan prinsip non-kooperasi sebagai asas organisasi. Pernyataannya yang berjudul “Keterangan Azas” juga menegaskan perjuangan Perhimpunan Indonesia untuk menggapai kemerdekaan dan mengusahakannya dengan persatuan seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan suku, agama dan golongan.
Setamat kuliah, Iwa bersama Semaun dikirim oleh Perhimpunan Indonesia untuk mempelajari Front Persatuan (Eenheidsfront) di Moskow yang digagas oleh Komintern, organisasi komunis Internasional. Iwa memang tertarik untuk mempelajari sosialisme, meskipun memilih tidak untuk komunisme. Ia disebut juga pernah bersekolah di Eastern University, universitas persahabatan untuk orang-orang blok Timur, di Moskow.
Tahun 1927, Iwa pulang ke Indonesia dan sempat bekerja di Bandung. Ia lalu membuka kantor pengacara di Medan atas permintaan pamannya. Iwa tetap aktif berjuang dengan membuat surat kabar “Matahari Indonesia” yang melakukan pembelaan untuk kaum buruh dan tani tertindas, terutama yang bekerja di perkebunan-perkebunan besar milik Belanda di Sumatera Timur. Iwa juga mendirikan SKBI (Sarekat Kaoem Boeroeh Indonesia) cabang Medan. Selain itu, Iwa diangkat sebagai Penasehat Persatuan Montir dan Pekerja Bengkel atau Persatuan Motoris Indonesia.
Tulisan-tulisan tajam Iwa dalam membela kaum buruh dan segala aktivitasnya berakibat fatal. Iwa ditangkap bersama para pemimpin SKBI lainnya pada tahun 1929 karena dianggap berafiliasi dengan Moskow dan Komintern. Selama setahun ia dibui di Medan, lalu dikirim ke Jakarta. Juni 1930, Iwa dibuang ke Bandaneira dan tahun 1941 dipindahkan lagi ke Makassar.
Iwa akhirnya dibebaskan ketika penjajah Jepang datang. Di masa tersebut, Iwa sempat diangkat sebagai Hakim Keizei Hooin (pengadilan kepolisian) Makassar. Tak lama, Iwa kembali membuka praktek pengacara di Jakarta.
Peran penting Iwa pada masa-masa persiapan kemerdekaan tak terbantahkan. Ia diangkat menjadi salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan termasuk di antara yang berpandangan bahwa rancangan UUD 1945 adalah konstitusi yang lahir dalam keadaan darurat dan sangat mungkin untuk diperbaiki. Karenanya, Iwa mengusulkan adanya satu pasal yang mengatur tentang perubahan UUD 1945. Usul itu disambut oleh Soepomo dan setelah melalui pembahasan serta perdebatan, muncullah pasal 37 UUD 1945 yang mengatur cara untuk mengubah konstitusi.
Iwa mulai ikut mengabdi di pemerintahan, setelah Indonesia merdeka, dengan menjadi Menteri Sosial pada kabinet pertama. Namun, karirnya tak lantas mulus, bahkan terhenti karena ia ditangkap bersama Mohammad Yamin, Soebardjo dan Tan Malaka. Mereka dituduh terlibat dalam peristiwa kudeta 3 Juli 1946.
Setelah pembebasannya, Iwa kembali dipercaya oleh Presiden Soekarno untuk menduduki jabatan Menteri Pertahanan pada Kabinet Ali Sastroamidjojo (1953-1955). Saat itulah muncul mosi dari fraksi Masyumi untuknya, karena dituduh komunis dan ada upaya kudeta oleh Angkatan Perang Republik Indonesia. Diduga, kedua tuduhan itulah yang mendorong Iwa untuk memutuskan mengundurkan diri dari kursi Menteri Pertahanan.
Iwa kemudian masuk ke dunia pendidikan dengan menjadi Presiden (Rektor) pertama Universitas Padjadjaran pada tahun 1957. Tahun 1961, ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Karirnya di pemerintahan berakhir setelah sempat menjabat sebagai Menteri Negara pada Kabinet Kerja IV (1963-1964) dan Kabinet Dwikora (1964-1966).
Iwa mengisi masa pensiunnya dengan menjadi Ketua Badan Penelitian Sejarah Indonesia dan menghasilkan beberapa karya buku, semisal Revolusi Hukum di Indonesia, Sejarah Revolusi Indonesia (tiga jilid) dan Pokok-pokok Ilmu Politik.
Iwa Kusuma Sumantri, tokoh lintas jaman, akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 27 November 1971 dalam usia 72 tahun, setelah dirawat di RSCM Jakarta akibat penyakit jantung. Atas segala jasa-jasa dan perjuangannya, ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Sukarnoputri.
(ditulis ulang @urang_ciamis berdasarkan sumber iluni, merdeka.com dan lain-lain)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar