Pemberitaan tentang rencana pengembalian ‘Galuh’ sebagai nama kabupaten, sempat mencuat kembali dan menarik perhatian warga Ciamis. Wacana perubahan itu sendiri telah berkembang selama beberapa tahun terakhir, seiring makin kuatnya dorongan dari berbagai pihak, baik tokoh masyarakat, politisi, akademisi dan lain-lainnya.
Kata ‘Galuh’ memiliki sejarah yang sangat panjang dan telah melekat erat di batin masyarakat Ciamis. Sebagai entitas kewilayahan, nama tersebut telah digunakan dari tahun 612 hingga tahun 1916, atau tak kurang dari 1304 tahun lamanya.
Catatan pada laman Wikipedia menyebutkan bahwa ketika tokoh Sang Wretikandayun naik tahta menjadi raja Kendan (bagian dari kerajaan Tarumanegara, berlokasi di sekitar Nagreg) pada tahun 512, ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Karangkamulyan dan menggunakan nama baru ‘Galuh’ yang berarti permata.
Ketika raja terakhir Tarumanagara yang bernama Linggawarman wafat, kekuasaan Kerajaan Tarumanagara sudah menyusut. Puncaknya, ketika Tarusbawa, menantu dan penerus Linggawarman (yang berasal dari Sundasambawa), mengganti nama ‘Tarumanagara’ menjadi ‘Sunda’ pada tahun 699, maka Wretikandayun pun (yang sudah berusia 78 tahun dan kemudian masih sempat berkuasa 12 tahun lagi) menyatakan pemisahan diri Galuh menjadi kerajaan merdeka.
Melalui sebuah perjanjian, disepakati bahwa wilayah Kerajaan Sunda berada di sebelah barat Sungai Citarum, sementara Kerajaan Galuh ada di sebelah timurnya. Naskah “Carita Parahiyangan” menegaskan bahwa Kerajaan Galuh didirikan oleh Sang Wretikandayun yang berkuasa selama 90 tahun.
Prof. Dr. Sobana Hardjasaputra, sejarawan Universitas Padjadjaran kelahiran Ciamis, dalam tulisannya “Ciamis Kembalikan Lagi ke Galuh” menyebutkan bahwa kata ‘Galuh‘ dalam bahasa Sansekerta memiliki dua pengertian: salah satu jenis permata; atau putri raja yang masih lajang tetapi sudah turut dalam pemerintahan.
Kata ‘galuh’ dalam kehidupan masyarakat Sunda juga memiliki arti yang sama dengan ‘galeuh’, yang berarti bagian tengah (inti) dari pohoh atau kayu, tampak berwarna kehitam-hitaman dan keras. ‘Galeuh’ yang dimaksud, bukan yang bermakna ‘beli’.
Kata ‘galuh’ juga dipahami identik dengan ‘galih’ (kolbu), sehingga ada ungkapan dalam bahasa Sunda, ”galuh galeuhna galih” yang bermakna: galuh intinya hati.
Prabu Haurkuning, leluhur para pemimpin Galuh hingga empat ratus tahun lamanya, bahkan merumuskan falsafah yang disebut ”Elmu Kagaluhan Haurkuning” yang merupakan prinsip dalam kehidupan manusia.
Kalimat ”pakéna gawé rahayu pakeun heubeul jaya di buana” yang tertera pada Prasasti Kawali I dan dijadikan semboyan Pemkab Ciamis, juga merupakan salah satu bukti dari adanya Falsafah Kagaluhan.
Nama ‘Galuh’ yang memiliki arti, nilai historis dan filosofis tinggi pada akhirnya diganti pada tahun 1916 oleh Bupati R.A.A. Sastrawinata dan diganti oleh kata ‘Ciamis’.
Mengapa bupati ke-18 tersebut ‘nekat’ melakukan tindakan seperti itu?
Prof. Sobana berpendapat bahwa alasan Sang Bupati merubah nama kabupaten adalah ia tidak mau dianggap sebagai keturunan bupati Galuh, karena ia adalah keturunan langsung bupati Karawang.
Jika sedemikian penting arti perubahan nama ‘Galuh’ menjadi ‘Ciamis’, misalnya sebagai sebuah pernyataan sikap dan komitmen, maka untuk siapakah hal tersebut ditujukan oleh Sang Bupati?
Pengangkatan R.A.A. Sastrawinata (1914-1936) sebagai bupati Galuh tak lepas dari kebijakan penjajah Belanda yang tidak mau mengangkat keturunan Rd. Adipati Kusumabrata (bupati Galuh sebelumnya) sebagai pelanjut tampuk kepemimpinan. Sebabnya, para putra R.A.Kusumabrata, meskipun dekat dengan pihak penjajah Belanda, tetapi lebih cenderung untuk memberontak. Bahkan, salah satunya, Rd. Oto Kusumabrata, ikut dalam upaya pembentukan Negeri Pasundan.
Tindakan Belanda yang mengangkat bupati Galuh dari luar daerah menyebabkan putusnya generasi bupati keturunan Prabu Haur Kuning yang telah tersambung selama lebih kurang empat abad dalam memimpin di Tatar Galuh.
Mengapa nama ‘Ciamis’ yang dipilih?
Kata ‘Ciamis’ dipahami oleh pakar sejarah bukan bermakna air yang manis (cai=air, amis=manis, bahasa Sunda), melainkan sebenarnya bertendensi cemoohan atau ejekan (amis=anyir, bau darah, bahasa Jawa/Mataram). Konon, ejekan tersebut muncul setelah adanya tragedi banjir darah pada masa Mataram menancapkan kekuasaannya di wilayah Tatar Galuh.
Sumber lain, sebagaimana ditampilkan pada catatan Yulia Sofiani, hampir senada menyebutkan bahwa nama ‘Ciamis’ diberikan sebagai penghinaan oleh Pangeran Sutawijaya (1812-1815) kepada Galuh. Ia adalah bupati Galuh pengganti yang didatangkan oleh pihak kolonial Belanda dari Cirebon. Dalam bahasa Cirebonan, amis juga berkonotasi bau anyir.
Pangeran Sutawijaya memindahkan pusat pemerintahan dari Cibatu ke Burung Diuk untuk memudahkan pengawasan pembangunan Dayeuh Anyar, ibukota baru Kabupaten Galuh. Kelak Dayeuh Anyar tersebut dinamai ‘Ciamis’ dan mulai dipakai pada masa Bupati Wiradikusuma (1815-1819), pengganti Sutawijaya yang kembali ke Cirebon.
Boleh jadi, pemilihan nama ‘Ciamis’ oleh Bupati R.A.A. Sastrawinata hanyalah sebatas menggunakan nama yang memang sudah ada sejak seratus tahun sebelumnya, tanpa memikirkan pemaknaannya. Tetapi, keputusannya tersebut merupakan sebuah bukti kesungguhan dan loyalitas pada pemerintah pusat di saat itu.
Sang Bupati sendiri tercatat pernah menerima bintang penghargaan atas jasanya pada pemerintah kolonial Belanda, ketika berhasil menghadapi dan menumpas pemberontakan komunis di wilayah Ciamis.
Ironisnya, meski perubahan nama menjadi ‘Ciamis’ dimaksudkan sebagai bukti bahwa ia bukan pelanjut trah penguasa Galuh, sebenarnya Bupati Sastrawinata sendiri justru adalah keturunan pemimpin Galuh di masa lampau. Leluhurnya adalah keluarga bangsawan Galuh yang ditempatkan untuk memimpin Karawang....
(Ditulis ulang @ciamisnulis dari berbagai sumber, semoga menjawab pertanyaan pokok tentang seputar pengubahan nama 'Galuh' menjadi 'Ciamis' di masa lampau. Kiranya dapat mempermudah dalam mendalami alasan pengembalian kembali nama 'Galuh' yang sekarang gencar didengungkan. Jika bermanfaat, silakan bagikan tulisan ini pada teman dan baraya Ciamis sekalian.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar