Sebuah cerpen, karya: Diantika IE
Hujan sore ini begitu deras, menimbulkan tampias di kaca jendela. Angin dingin berhembus, menusuk pori. Kuangkat kaki naik ke kursi, menghindari dingin dari ubin yang merasuk ke telapaknya. Bertahun-tahun kutinggalkan kampung halaman, rasanya sulit kembali beradaptasi dengan suhu Panawangan. Desa Indragiri yang terletak di dataran tinggi pegunungan Ciamis utara, cukup membuatku sering malas mandi ketika pulang kampung. Ah, mungkin itu alasan klasik ketika aku terpaksa hanya mandi satu kali sehari.
“Hayu disimbut!” ajak adikku sambil berlalu. Kujawab dengan senyum dan gelengan kepala.
Ayah dan Ibu sedang menghadiri undangan di desa sebelah. Adikku lebih asik di kamar bersama selimut dan ponsel pintarnya. Aku memilih tetap duduk di ruang tengah, menghadap kaca jendela berukuran besar. Dari sana aku bisa menikmati hamparan hijau rerunputan di halaman rumah yang lumayan luas. Di sudut kanan halaman, tumbuh subur pohon kedondong yang sedang berbuah lebat, pasrah dicumbui rintik hujan.
Daun-daun yang basah segar menyejukkan, lebih menarik kunikmati daripada hanya berdiam diri di balik selimut dalam kamar yang terkungkung tembok.
Aku menggosok-gosokkan kedua telapak tangan sebagai usaha menghangatkan tubuh. Sebuah kebiasaan yang kulakukan jika gigil menyerang tak tertahankan. Ilmu itu kudapat dulu, saat aktif di organisasi PMR SMAN 1 Ciamis. Seorang senior mengajariku melakukannya beberapa tahun silam.
Jaket tebal pemberianmu setahun yang lalu, kini kukenakan. Namun gigil ini tak juga pergi. Kopi putih yang kuseduh masih mengepul. Asapnya jelas terlihat. Wanginya merasuk menusuk hidung, memberi kesan tenang. Perlahan kureguk, berharap hangat itu akan segera datang.
Tentang kopi dan hujan, ada seseorang yang selalu kurindukan. Termasuk saat ini. Dia adalah rindu yang selalu bersarang, tak pernah pergi dari benakku. Dia adalah mimpi yang lebih kerap kupercayai tak akan akan bertemu perwujudannya. Dia, sosok paling menyenangkan yang pernah kuketahui. Sosok lengkap yang selalu bisa menjadikanku merasa sempurna.
Namun, dia juga sekaligus pembohong terbesar yang pernah kukenal. Sayangnya, dia adalah kamu. Laki-laki yang selalu ingin aku jadikan suami. Kamu, yang pernah berjanji akan berkunjung ke rumah ini. Rumah yang, katamu, selalu ingin kamu datangi dengan sejuta harap.
Sederet cita-cita telah kita bicarakan, seandainya kita akhirnya hidup bersama. Kamu bilang, ingin membuka usaha perkebunan palawija, ingin memiliki kolam yang luas, membeli sawah dan apapun yang bisa dilakukan di pedesaan. Yang termanis…, hidup bersamaku sampai hanya ajal memisahkan.
Kamu bilang, ingin menepi dari bisingnya kota. Hidup di sana sudah sangat membuatmu muak. Otakmu sudah panas, memikirkan pekerjaan yang tidak ada ujungnya. Memenuhi permintaan orang lain, seolah kaulah yang paling memiliki tugas menyenangkan mereka. Kamu lelah, kamu ingin bebas dan merasakan kedamaian alam pedesaan.
Namun nyatanya, sampai saat ini kamu belum benar-benar datang. Kamu masih sibuk dengan pekerjaan-pekerjaamu. Menyenangan orang lain. Termasuk menyenangkan seseorang yang katamu telah menyakitimu. Aku anggap itu adalah kebohonganmu yang kedua. Saat kau begitu sedih, karena merasa telah disia-siakan, kamu datang padaku dengan penuh harap. Kamu bilang aku bisa menyembuhkan luka sampai benar-benar sembuh. Tapi ternyata setelah kuat, kamu memilih kembali kepadanya, meski katamu hanya sesekali saja. Aku menjadikanmu satu-satunya, tapi kamu jadikan aku hanya sebagai salah satunya. Aku… hanyalah sebuah pilihan.
Aku tak mengapa. Jika misal kamu tidak jadi datang ke sini menemui kedua orang-tuaku. Namun jangan salah, ada benih yang tumbuh subur, telah terlanjur kamu semai di tanah hatiku yang gembur. Kamu menanam harap. Kamu menyemai cinta. Ya, aku kini mencintaimu dan tidak bisa kupungkiri betapa sering kuberharap jika kamu benar-benar datang ke sini. Membangun rumah sederhana di tanah yang lapang. Dikelilingi tanaman sayur, TOGA, buah-buahan, dan bunga-bunga indah yang kusuka. Tahukah kamu, cinta ini tak bertepi dan tidak akan pernah habis?
Tak terasa, derai hangat mengalir membasahi pipi. Mengingat semua tentangmu memang selalu berhasil membuat air mataku meluncur tanpa permisi. Banyak yang tak terkendali karena kamu. Bahkan, kamu sendiri tidak tahu, alasan kepulanganku ke sini juga karena aku merasa kecewa terhadapmu. Entah sampai kapan aku di sini.
Aku ingin mengasing. Tanpa gadget, tanpa kabar darimu, tanpa melihat postingan instagram miliknya yang sengaja kuikuti. Mengikuti dan menyimak postingan dia memang kebodohan terbesar yang kulakukan. Terkadang aku hanya ingin tahu apa saja yang sudah kalian lakukan di luar sana. Tetapi, aku sering merasa bahwa hatiku retak-retak setelah melihatnya. Ah, aku memang aneh.
Kopi di gelas tinggal setengah, sudah dingin. Gigil di tubuh tidak terasa lagi. Dingin yang teramat sangat, kini berpindah ke dalam sini, di relung hati. Kehadiranmu dan ketiadaanmu adalah harapan dan kenyataan yang saling bertentangan.
Hujan mulai mereda. Jingga mulai hinggap di ufuk barat. Ayah dan Ibu tiba, saat gerimis kecil di mataku masih tersisa. Kini kutahu, cara terbaik agar desaku selalu terasa hangat dan nyaman adalah dengan kehadiranmu di sini. Di sisiku. Di rumah impian kita. Aku akan tetap menunggumu…, meski kehadiranmu hanya sebatas mungkin.
*Penulis adalah perantau asal desa Indragiri, Panawangan, Ciamis. Hobi menulis sejak duduk di bangku SMP. Bisa ditemui di akun FB-nya dengan nama Diantika IE, fanpage FB Ruangpena Diantika IE, instragram @diantika.i.e atau di webnya ruangpena.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar