"Kamu pikir aku ini apaaa, Daniii?" teriak Winda histeris. Kekesalannya meluap. Air mata bercucuran membasahi pipinya.
Sore terasa begitu panjang baginya. Hujan di luar masih amat deras dan langit Kota Manis tak juga berubah warna gelap pekatnya. Rumah terkunci rapat. Entah di mana kuncinya.
"Aku mau pulang!" ucap Winda ketus.
Dani bergeming. Ia terduduk di lantai ruangan yang dingin. Tersudut. Kakinya ditekuk, kedua tangannya memegang kepala. Ribuan sesal bersarang di sana, menghimpit ruang pikirnya.
Bagaimana bisa, ia melakukan hal yang benar-benar melukai Winda, belahan jiwanya. Betapa bodohnya. Ia telah melanggar janji untuk selalu menjaga perasaan perempuan itu sepenuh hatinya. Tapi sekarang, ia malah gegabah.
"Buka pintunya! Atau aku teriak sekerasnya?" Winda mulai mengancam. Watak asalnya muncul kembali. Benar saja, tak lama kemudian ia mulai berteriak-teriak. Dani terlonjak. Ia segera bangkit dan berusaha menghentikan Winda.
"Wiiin! Berhenti teriak! Atau aku…," ancam Dani. Kedua tangannya meraih bahu Winda. Ia yang sedari tadi berusaha menahan diri, akhirnya geram juga. Winda menepis, tak memedulikan ancaman, karena memang bukan tipe penakut. Ia lantas sibuk mencari-cari kunci.
"Aku akan membuka pintu itu, tapi aku minta satu hal…," Dani berusaha keras merendahkan suaranya, "tolong lupakan soal tadi. Aku janji, aku tidak akan mengulanginya lagi."
Winda terdiam, memilih duduk di kursi dekat jendela, menatap hujan. Pandangannya sayu, berkaca-kaca. Ada yang kembali menetes dari sudut matanya.
Masih lekat di ingatannya, Dani memuji perempuan lain. Tak sengaja terbaca di layar handphone. Hal yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Padahal selama ini kebersamaan mereka baik-baik saja. Hanya dia yang menjadi satu-satunya perempuan yang dipuji Dani. Dia selalu mengusahakan semua yang terbaik untuk lelaki itu. Tidak pernah sedikit pun dia biarkan lelaki itu memikirkan orang lain.
"Winda, dengarkan aku dulu. Aku minta maaf. Aku janji gak akan mengulangi lagi...," suara Dani penuh kesungguhan, tapi lebih terdengar memelas.
Bagaimanapun, janji di depan penghulu dua tahun lalu telah membuat Dani membulatkan tekad untuk tetap bersama, apapun yang terjadi. Setemperamental apapun istrinya.
"Itu cuma revisi dialog di naskah yang dia minta, sayang… bagian itu rayuan untuk Diah Pitaloka. Sandiwara Perang Bubat. Cuman aku lupa ngasih tahu kamu…."
Dani tertunduk lesu, tangannya lemah pegangi sudut kursi. Winda bertahan memilih duduk dan diam, mencoba mencerna ucapan suaminya, sembari memandangi langit yang semakin deras menumpahkan tangisannya. Kilatan petir sesekali menyambar. Sejenak, keduanya lebih memilih untuk menahan lisan. Sama-sama berharap pertengkaran segera usai.
"Dani...," guman Winda perlahan, hampir tak terdengar, bersaing dengan suara hujan.
"Hmmm… apa?" suara Dani sudah terdengar normal lagi. Lembut. Kelembutan yang sejak dulu meluluhkan.
"Aku gak jadi pulang ke Rancah…, Mamah pasti sedih melihat anaknya pulang sendiri," suara Winda berlanjut hembusan napas panjang. Ia sudah memilih antara percaya atau tidak. Pipinya bersemu merah terkena pancaran cahaya lampu di pojok ruangan.
Dani mendekatkan wajahnya ke telinga Winda. Dengus napasnya terdengar jelas. Tangan kanannya menjulur ke kaca jendela yang berembun karena tampias. Ia menuliskan tiga kata dengan telunjuknya. Bibir Winda merekah. Matanya berbinar-binar.
Adzan magrib berkumandang, bersahutan dengan suara hujan. Hujan yang kini terasa tenang. Sebab kunci pintu tak lagi dicari oleh mereka yang mengurung diri. Ciamis semakin dingin. Kisah ini tak pernah terjadi.
Fiksi pendek Diantika IE
Ketua Umum KPKers (Komunitas Penulis Kreatif)
Asli Ciamis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar