Pengertian padepokan di dalam bahasa Indonesia mengandung dua makna: pertama, yakni tempat persemedian atau pengasingan diri raja-raja di Jawa pada masa lalu; kedua, yakni sebagai tempat melakukan kreativitas seni (sanggar seni tari, seni lukis, seni bela diri dan lain-lain).
Padepokan Apun Pager Gunung yang berlokasi di Desa Mekarmukti, Kecamatan Cisaga, Kabupaten Ciamis, termasuk ke dalam padepokan dengan pengertian kedua. Padepokan ini didirikan oleh Aip Saripudin, S.Pd.I., yang dikenal pula sebagai Aip Ki Sunda, warga Dusun Sembungjaya RT 01 RW 04, Desa Mekarmukti, Kecamatan Cisaga, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Ia mendirikan padepokan tersebut sebagai tempat bagi anak-anak untuk belajar tentang berbagai macam kesenian dan budaya Sunda. Padepokan ini juga dilengkapi dengan museum dan taman baca.
Padepokan ini telah ikut memberikan sumbangsih signifikan dalam pelestarian budaya Sunda, terlihat dari berbagai kegiatan yang diadakan, baik dalam bentuk agenda harian, mingguan, bulanan, triwulanan, semesteran, maupun tahunan. Hal ini sesuai dengan tujuan pendirian Padepokan Apun Pager Agung untuk melestarikan dan mengenalkan warisan budaya kepada masyarakat dan generasi penerus.
Gerak langkah perjuangan padepokan ini tak terlepas dari sejarah asal muasal pendiriannya. Kisah bermula saat Aip Ki Sunda melakukan kunjungan ziarah ke Makam Apun Pager Gunung pada tahun 2006 yang terletak di Kedung Ampel, Dusun Sembungjaya RT 03 RW 04, Desa Mekarmukti, Kecamatan Cisaga, Kabupaten Ciamis. Sebutan Apun Pager Gunung sendiri merupakan nama asli dari Singaperbangsa III, yakni Bupati Galuh Kertabumi yang kelima. Kata ‘apun’ merupakan gelar bangsawan Sunda Galuh, yang saat ini merupakan sebutan untuk seorang raden.
Tidak lama setelah berziarah, tepat pada hari Ahad, tanggal 17 Ramadhan 1427 Hijriah atau 10 September 2006 Masehi, sang pendiri padepokan bermimpi dan di dalam mimpi tersebut dikatakan (dalam bahasa Sunda): “Teundeun ngaran kuring Apun Pager Gunung na tulang sumsum anjeun, jeung pangneundeunkeun ngaran kuring dina hiji tempat” yang kurang lebih bermakna “simpan nama saya Apun Pager Gunung dalam hatimu dan simpan nama saya dalam suatu tempat”.
Aip Ki Sunda mempertimbangkan pesan yang diterimanya di dalam mimpi, serta didasari kesadarannya melihat lingkungan sekitar yang sudah mulai melupakan warisan nenek moyang, akhirnya menumbuhkan tekad untuk melestarikan peninggalan berharga dari para leluhur. Untuk merealisasikan tekadnya, ia lalu bermusyawarah dengan keluarganya untuk mendirikan sebuah padepokan di atas tanah kosong milik keluarga seluas lebih kurang 100 bata (1 bata = 14 meter persegi). Tanah tersebut berada tidak terlalu jauh dari Makam Apun Pager Gunung.
Tepat pada 4 Maret 2008 (12 Rabiul Awal 1429 H), ia memulai pembangunan Bale Gede dan Saung Lisung. Pembangunan kemudian dilanjutkan kembali bulan Syawal dengan mendirikan Saung Suhunan Badak Heuay, Saung Suhunan Tagog Anjing, Saung Leuit, Tajug (musala), kamar mandi, Museum dan Taman Baca. Semua bangunan tersebut didirikan dengan menggunakan material bambu. Akhirnya, pada tanggal 10 September 2006, untuk merealisasikan pesan dalam mimpinya, padepokan tersebut diberi nama “Padepokan Apun Pager Gunung”.
Dalam perjalanannya, Padepokan Apun Pager Gunung telah mengalami renovasi sebanyak dua kali, yakni pada tahun 2013 dan 2017. Setelah terjadinya ‘gempa Tasik’ yang berkekuatan cukup besar dan membuat beberapa bangunan roboh, kini yang masih berdiri kokoh hanyalah Museum dan Taman Baca, kamar mandi, dan Tajug (musala). Bangunan-bangunan yang asalnya dibuat sepenuhnya dengan material bambu, akhirnya direnovasi total serta berganti menggunakan batu bata, dengan tetap memperlihatkan ciri kebudayaan Sunda.
Hingga kini, Padepokan Apun Pager Gunung terus berusaha mengambil peran dan memberi manfaat di tengah-tengah masyarakat. Terlebih pada situasi dan kondisi sekarang yang sedang mengalami krisis budaya, krisis jati diri bangsa, dan keadaan alam yang kadang tidak menentu.
Penulis: @alisnaaaa_
Editor: @ciamis.info
Tidak ada komentar:
Posting Komentar