Ciomas, Panjalu, suatu waktu di tahun 1957. Malam sudah menjelang larut, sekitar pukul sepuluh atau sebelas malam, ketika peristiwa mengerikan itu terjadi. Engkon Konita masih duduk di bangku kelas 1 SD dan belum sepenuhnya mengerti mengenai apa yang kemudian terjadi di depan matanya. Hanya saja, trauma yang sangat dalam akan membekas dan meninggalkan sisa di dalam batinnya, hingga sepanjang hayatnya.
Kepada CIAMIS.info, Engkon Konita didampingi putrinya, Popi Opik Basuki, menuturkan kisah sejarah masa lalu yang masih diingatnya, di rumah kuno Ciomas yang hingga kini masih ada dan terpelihara.
Ayahnya, Amir Djaya Sasmita adalah warga terpandang di wilayah Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis. Seingat Engkon, sejak tahun 1920 ayahnya sudah menetap di tempat tersebut dan memiliki pabrik aci (pengolahan tepung tapioka) dan penyulingan minyak serai (atsiri). Hasil produksi pabriknya biasanya dijual ke penampung besar di Tasikmalaya.
Pengusaha pribumi yang terbilang sukses tersebut mampu merekrut tenaga kerja dalam jumlah banyak. Ia juga menguasai lahan untuk penanaman tumbuhan, yang menghasilkan bahan baku untuk memasok pabriknya, seluas lebih kurang 150 hektar.
“Lahannya berbatasan dengan Gunung Sawal, yang sekarang disebut dengan Kampung Baros,” tutur Engkon, “setahu saya, nama-nama lokasi lahan itu Pangangonan, Palahlar, Salem, Makam Jauh dan lain-lain.”
Kekayaan Amir Djaya Sasmita mencakup pula beberapa unit truk, sawah, rumah dan lain sebagainya. Boleh dikatakan, ia adalah salah satu wiraswastawan terkaya dan tersukses di wilayah Ciomas pada zamannya.
Di rumah kuno Ciomas yang terletak di belokan jalan raya pada jalur Ciamis-Panjalu itulah Engkon dan saudara-saudaranya dilahirkan. Sebelumnya, ayahnya sempat menikahi isteri pertama dan memperoleh 5 orang anak. Setelah istri pertama meninggal, Amir Djaya Sasmita kemudian menikahi isteri keduanya, Didih, dan memperoleh 6 orang keturunan, termasuk Engkon di dalamnya.
Laju bisnis Amir Djaya Sasmita berjalan lancar dan memberi kesejahteraan yang baik untuknya sekeluarga, serta membawa manfaat pada mereka yang ikut bekerja di perusahaannya. Namun, keadaan mulai berubah saat memasuki masa pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kartosuwiryo. Menurut catatan sejarah, pemberontakan tersebut berlangsung 13 tahun lamanya, dari tahun 1949 hingga tahun 1962, dengan Gunung Sawal termasuk di antara wilayah basis utamanya.
Malam itu, sebenarnya Amir Djaya Sasmita sudah menerima peringatan, agar ia dan keluarganya mengungsi saja dulu ke Kawali. Keadaan cukup genting dan gerombolan DI/TII dikenal tak segan-segan melakukan kekerasan pada rakyat sipil yang menjadi korban. Namun, pengusaha tersebut memilih bertahan, karena sedang ada proses produksi di dalam pabriknya yang tak bisa ditinggalkan. Bersamanya, ada istrinya Didih, anak tertuanya Aman Sasmita, lalu Engkon dan Ella. Kepada mereka, Amir Djaya Sasmita menyampaikan keputusannya.
“Tos wé, teu kudu ngungsi ... paéh, hirup, keur ngabélaan anak pamajikan ieuh (Sudah saja, tidak usah mengungsi… mati, hidup, ini adalah untuk membela anak dan istri),” tuturnya.
Pengusaha yang sudah puluhan tahun merintis dan mengembangkan usahanya tersebut, di tengah-tengah suasana yang amat gawat, memilih bertahan dan menghadapi risiko apapun yang mungkin akan dihadapinya.
Nahasnya, gerombolan bersenjata DI/TII benar-benar datang malam tersebut. Mereka dengan mudah menguasai rumah kuno Ciomas tanpa perlawanan, dan Amir Jaya Sasmita beserta keluarganya tak berdaya. Aman Sasmita, anak tertuanya, disiksa dan akhirnya dieksekusi di dalam rumah dengan tembakan senjata. Sementara itu, Amir Djaya Sasmita sendiri kemudian diberondong peluru di halaman depan.
Engkon yang masih berusia sekitar 6 tahun tak paham penyebab terjadinya pembunuhan tragis atas ayah dan kakak tertuanya tersebut. Tiba-tiba saja ia harus kehilangan orang-orang terdekatnya, dengan cara yang amat brutal. Ia kemudian terpaksa menanggung trauma batin yang seolah tak berkesudahan selama hidupnya, terutama setiap kali teringat pada kejadian tersebut.
Di kemudian hari, Engkon mengetahui bahwa kakak tertuanya Aman Sasmita ternyata baru saja menjual truknya. Uang hasil penjualan tersebut raib dibawa oleh gerombolan yang kemudian berlalu begitu saja, kembali bergerilya di Gunung Sawal, wilayah persembunyian mereka.
“Bapak Amir Djaya Sasmita ditembak di depan rumah, sempat dilarikan ke Puskesmas Panjalu katanya, malah mau dibawa ke RS Tasik, tapi tidak kuat dan meninggal di perjalanan,” tutur Engkon berdasarkan cerita ibunya.
Jenazah Amir Djaya Sasmita dan Aman Sasmita dimakamkan di Ciomas. Peristiwa pembunuhan tersebut menimbulkan kegemparan dan menyebar ke mana-mana. Waktu berlalu, kehidupan terus berlanjut. Di kemudian hari, keturunan Amir Djaya Sasmita tersebar di berbagai daerah. Engkon Konita bermukim di Jakarta, sementara adik-adiknya ada yang tinggal di Ciamis, Pangalengan dan Surabaya.
Popi Opik Basuki, putri Engkon Konita, mengungkapkan rasa haru dan syukurnya jika masyarakat mau mengenang dan menghargai jejak sejarah yang ada di rumah kuno Ciomas yang pernah ditinggali leluhurnya. Rumah tersebut diwarisi oleh Amin Sasmita, salah satu kakak ibunya, dan kini telah berpindah tangan kepada kerabat yang lain.
“Saya atas nama keluarga sangat tersanjung dan berterima kasih bila ada yang akan menggali kisah aki saya,” tuturnya.
Ia menambahkan, sayangnya tidak banyak hal yang dapat digali lebih lanjut, karena ibunya masih sangat kecil saat menjadi saksi mata peristiwa pembunuhan kakek dan uwa-nya. Beberapa arsip foto keluarga terkait rumah kuno Ciomas juga masih harus ditelusuri lagi keberadaannya.
“Kalau kebetulan kami sekeluarga ke Ciomas, biasanya di suasana Hari Raya, Ibu biasanya tetap mengajak untuk menyempatkan diri singgah ke rumah kenangan ini,” pungkasnya.
Penulis: @ciamisnulis
Editor: @ciamis.info
Tidak ada komentar:
Posting Komentar