Menulis adalah sebuah perjalanan membuka halaman demi halaman proses kehidupan. Semua berawal dari pengalaman pada saat dirinya masih menuntut ilmu di sebuah sekolah dasar negeri di daerah Panawangan, salah satu kecamatan di wilayah utara Kabupaten Ciamis.
Diantika Irma Ekawati, saat itu masih kelas empat, menulis sebuah puisi sebagai tugas pelajaran Bahasa Indonesia yang diberikan gurunya. Ternyata ia menyukai kegiatan merangkai kata. Sejak itu, menulis menjadi sebuah hal yang bukan saja disukainya, tetapi juga menjadi kebutuhan yang harus dipenuhinya.
Saat masih bersekolah SMP, ia bahkan menjadikan tulisan sebagai sarana luapan emosinya, semacam terapi mandiri untuk mengurangi tekanan emosional yang sedang dirasakannya. Selepas menulis, lembaran kertas yang ditulisinya lantas disobek-sobek lagi.
Seiring berjalannya waktu, pandangannya tentang dunia tulis menulis semakin bertambah luas. Menulis ternyata bukan sekadar sebuah hobi, tetapi juga dapat menjadi pekerjaan yang memberi penghasilan, jika ditekuni dengan penuh kesungguhan.
Namun, bukan hanya itu yang menjadi pendorong Teh Dian, panggilan akrabnya, untuk membulatkan niat menjadi penulis, di luar profesinya sebagai seorang pendidik. Lulusan S1 dan S2 Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung tersebut melihat alasan lain yang sangat dahsyat mempengaruhi pikirannya.
“Tulisan ternyata dapat mengubah seseorang, dan menjadi amal jariyah bagi penulisnya,” tuturnya pada CIAMIS.info.
Penulis kelahiran Indragiri, Panawangan, yang baru saja menerbitkan novel yang berjudul “Handaru” tersebut mengajak generasi muda untuk tak ragu memilih menggeluti dunia tulis menulis.
Ia mengajak para penulis untuk membulatkan dan meluruskan niat, menjadikan menulis sebagai panggilan hati, dan tak lupa mengingat Sumpah Pemuda sebagai dasar pemikiran utama. Pentingnya bahasa bagi bangsa, dalam pemikirannya, sepatutnya dibarengi dengan kesadaran untuk berusaha menjaga Bahasa Indonesia dengan sebaik-baiknya.
“Penulis jangan malah merusak Bahasa Indonesia,” tuturnya.
Ketua Komunitas Penulis Kreatif (KPKers) Indonesia sejak tahun 2018 tersebut melihat bahwa para penulis seharusnya menjadi agen Bahasa Indonesia yang menghasilkan karya-karya dengan 'rasa KBBI'.
“Penulis juga seharusnya menghasilkan karya yang membuatnya dikenal, bukan semata-mata untuk menjadi terkenal,” imbuh penyuka karya Tere Liye, Dee Lestari dan Khrisna Pabichara tersebut.
Penulis menurutnya akan dikenal karena konsistensi pada gaya, pesan, dan inspirasi yang terdapat di dalam tulisan-tulisannya. Sementara itu, penulis yang hanya ingin terkenal akan cenderung menggunakan segala cara dan segala tulisan untuk mencapai tujuannya.
“Jangan mau instan, harus mau mengejar kualitas,” tegasnya.
Ia berpendapat, seorang penulis juga sepatutnya memiliki nilai-nilai moral yang dipegang dan akan tercermin pada karya-karya yang dihasilkan. Ia sendiri memilih untuk menghindarkan diri dari membuat tulisan yang mengandung gosip dan perkara mistik yang dapat mengarahkan pembaca kepada kesyirikan. Saat ini, ia mengaku lebih tertarik mengangkat tema-tema sosial di dalam tulisan.
Menyikapi dunia kepenulisan di Kabupaten Ciamis, ia melihat masih terdapat kecenderungan para penulis untuk berjalan sendiri-sendiri, sehingga langkah yang ditempuh masih belum bisa selancar yang diharapkan. Ia berharap ada dukungan penuh dari pemerintah untuk merangkul para penulis Ciamis, agar segenap potensi yang ada dapat dimaksimalkan.
Penulis: @ciamisnulis
Editor: @ciamis.info
Tidak ada komentar:
Posting Komentar