Saat itu aku masih mondok di Pondok Pesantren Darul Hasan, Dusun Legoknyenang, Desa Raksabaya, Kecamatan Cimaragas, Kabupaten Ciamis. Sebagaimana layaknya para santri di manapun, aku terbiasa menambah hafalan Alquran atau lazim disebut murajaah. Hanya saja, aku terbiasa melakukan murajaah di tempat favoritku sendiri, yaitu di sebuah tempat yang bernama Lamping (Bahasa Sunda, berarti lereng).
Lamping ini memang tempat yang istimewa. Di sana terdapat banyak makam, ada pula kandang ayam, kandang bebek, dan kandang burung merpati. Tak hanya itu, terdapat pula pohon bambu yang akan bergoyang-goyang dan menimbulkan suara gemerisik kalau tertiup angin. Pokonya, suasananya enak banget, adem, teduh dan alami. Suasana seperti ini buatku sangat pas untuk mendukung menghafal Alquran.
Suatu waktu, aku sedang berada di Lamping dan mulai menghafal Alquran di lokasi tersebut. Aku membaca, mengulang bacaan, dan mengulang terus menerus. Apa daya, yang terjadi malah aku kebanyakan bicara sendiri, karena merasa kesulitan di dalam menghafal.
Tak lama berselang, tiba-tiba beberapa orang berusia separuh baya melintas di jalan, persis di depan tempat aku sedang menghafal. Mereka memperhatikanku dan lantas salah seorang di antaranya bertanya, "Kamu sedang apa di sini?"
Aku kaget banget.
"Saya sedang main saja, Pak, Bu," jawabku.
"Main kok di Lamping?" tanya seorang lainnya.
"Hehe, iya," jawabku lagi sambil tersenyum. Orang-orang tersebut berlalu, tapi tak lama kemudian kudengar suara mereka seperti sedang berbicara dengan seseorang yang lain. Tiba-tiba salah satu dari mereka bertanya dengan suara keras.
"Kalian sedang pacaran, yaaa?"
Ya Allah, aku kaget banget! Pikirku, ada apa sih? Ada siapa lagi memangnya di sini?
Singkat cerita, ternyata eng-ing-eng, ada sesosok santri putra yang sedang berada di balik pohon bambu, tak jauh dariku. Aku benar-benar malu setengah mati. Seketika aku berhenti dan terdiam. Berarti … dari tadi dia juga mendengar suaraku selama di sini? Padahal aku banyak bicara sendiri. Aduh ....
Aku bergegas pergi dari tempat itu dan kembali ke pondok. Sesampainya di asrama, aku dipanggil oleh Ustadzah untuk membantu masak. Perasaanku masih campur aduk, sampai tak sadar kalau aku akhirnya tersenyum-senyum sendiri, dan ternyata Ustadzah memperhatikanku. Ups!
Semenjak kejadian tersebut, rasanya tak mau lagi kalau sampai harus bertemu dengan si dia, seseorang yang ada di balik pohon bambu itu. Iya, karena rasa malu yang ampun tak terkira. Kalaupun misalnya sampai terpaksa berpapasan, aku hanya bisa menunduk dan tersipu malu.
Kontributor: @yani.sy
Editor: @ciamisnulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar