Para penampil dari Keluarga Mahasiswa Ciamis (KMC) Galuh Taruna Bandung Komisariat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati sukses mencuri perhatian audiens saat membawakan tarian tradisional Sunda yang berkolaborasi dengan kesenian Bebegig Sukamantri asli Tatar Galuh pada acara Pagelaran Budaya, Jumat (25/4/2025).
Pementasan yang berlangsung di Gedung Anwar Musaddad Fakultas Adab dan Humaniora UIN SGD ini diselenggarakan sebagai perwujudan semangat pelestarian budaya Indonesia, sekaligus bukti cinta mahasiswa terhadap warisan luhur nusantara.
Kontras dengan penampakan para gadis penari yang tampil cantik dan berkostum rapi, pemeran Bebegig Sukamantri muncul sebagai sosok bertopeng menyeramkan yang berhias rambut gimbal yang terbuat dari bubuay atau bunga caruluk (pohon enau).
Para mahasiswa KMC UIN menampilkan tarian dan atraksi Bebegig Sukamantri dengan penuh semangat, diiringi kelotok kayu dan waditra tradisional. Penampilan prima ini menurut pihak KMC UIN juga tak lepas dari rasa bangga atas kehormatan untuk membawa warisan budaya tanah kelahiran ke lingkungan kampus.
“Kami membawakan bebegig langsung dari tanah kelahiran Sukamantri. Harapannya, kesenian ini terus hidup dan tidak dilupakan generasi muda," ungkap Ketua Umum KCM GT Komisariat UIN Bandung, Banni Anggarisy S. Mihardja, akrab dipanggil Kang Obet.
Menurutnya, pergelaran budaya dapat menjadi ruang penting bagi mahasiswa untuk mengenal, mencintai, dan merawat budaya leluhur. Melalui kegiatan ini, UIN Sunan Gunung Djati tak hanya membentuk generasi unggul di bidang akademik, tetapi juga generasi yang peka terhadap budaya dan nilai luhur bangsa.
Tak hanya membawa tarian dan bebegig, KMC UIN juga menampilkan kuliner khas Ciamis, yakni galendo yang kini sudah bermetamorfosis menjadi olahan kekinian. Para mahasiswa asal Ciamis menyediakan Brolendo (brownies galendo) dan Galencok (gelendo coklat), dua kuliner 'zaman now' yang tetap mempertahankan rasa khas galendo.
Kang Obet berharap kesenian seperti Bebegig Sukamantri, tarian tradisional, dan galendo, akan terus dikenang dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Konon, dahulu kala bebegig diciptakan oleh Prabu Sampulur, penguasa wilayah Karanggantungan untuk melindungi wilayah kekuasaannya. Bebegig kemudian dikenal sebagai penjaga lingkungan, sekaligus simbol harmoni hubungan masyarakat Sunda dengan alam sekitarnya.
Khusus mengenai bebegig, ia menyebut kesenian tersebut bermakna lebih dari sekadar seni pertunjukan. Di balik penampilan bebegig, terdapat filosofi mendalam mengenai kebersamaan dan kelestarian alam. Penggunaan daun waregu pancawarna dan bunga bubuay, misalnya, disebutnya sebagai simbol eratnya hubungan manusia dengan alam.
“Melestarikan budaya berarti menjaga jati diri bangsa, dan setiap langkah kecil untuk mempertahankannya adalah bagian dari lautan kebaikan yang mengalir tanpa henti di bumi Indonesia,” pungkasnya.
Source: KMC UIN
Editor: @ciamisnulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar